Kemiskinan dan Kesempatan Memperoleh Pendidikan
Kemiskinan
Kemiskinan merupakan penyakit social ekonomi yang sering terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Saat ini kemiskinan menjadi bagian dari Indonesia yang sulit di pisahkan. Tapi bukan berarti kita tidak bisa merubahnya. Diperlukan tekad dan keseriusan dalam memeranginya. Karena jika kita tidak merubahnya maka perubahan itu mustahil adanya. Di tengah bergejolak ekonomi dunia, harga saham terus anjlok, sulit memperoleh kebutuhan pokok dan yang terbaru kenaikan tarif listrik membuat masalah kemiskinan semakin terabaikan. Keberadaan mereka tak lagi dipedulikan. Tak ada lagi kepekaan terhadap sesama.
Berdasarkan pasal 34 yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, jelas kemiskinan merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun jika hanya mengharapkan pemerintah dalam memerangi kemiskinan, agaknya butuh proses dan waktu yang panjang. Karena pemerintah tidak hanya mengurusi masalah kemiskinan, banyak hal yang menjadi beban pemerintah. Sudah saatnya masyarakat dan pemerintah bekerja sama dalam memerangi kemiskinan. Dan sudah seharusnya masyarakat kembali disadarkan agar mengurangi pola hidup hedonisme, cinta dunia yang berlebihan yang dapat menghilangkan rasa kepedulian dan sosialitas terhadap sesama.
Kemiskinan dan Pendidikan
Kecenderungan masyarakat miskin adalah tidak ingin menyekolahkan anaknya dengan alasan agar dapat membantu orang tua mencari nafkah untuk hidup. Padahal anak-anak adalah asset bangsa yang tak ternilai harganya. Dipundak mereka nasib bangsa kedepan ditentukan. Bayangkan jika anak-anak yang seharus belajar menuntut ilmu terpaksa bekerja untuk membantu orang tua, bagaimanakah nasib masa depan mereka selanjutnya ?. Dan dalam pasal 31 ayat (1) “ Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” ayat (2) “ Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional yang diatur undang-undang”. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap penduduk Indonesia berhak memperoleh pendidikan. Namun dalam situasi yang serba sulit makna yang terkandung didalam pasal tersebut menjadi sangat sulit terealisasi. Pendidikan menjadi sesuatu hal yang sangat mahal bagi mereka yang berada dalam belenggu kemiskinan.
Banyak anak-anak yang rela mengorbankan waktu mereka hanya untuk membantu orang tua mencari uang demi kelangsungan hidup keluarga. Miris melihat kenyataan yang ada, dimana anak-anak usia sekolah telah menanggung beban dan mengambil peran dalam keluarga untuk mencari nafkah. Jika hal ini terus dibiarkan, maka bangsa kita akan kehilangan generasi penerus yang berpendidikan, sehingga kemajuan bangsa Indonesia semakin jauh dari genggaman.
Disaat kemiskinan semakin merajai, biaya hidup semakin melambung tinggi. Dan hal ini tentu berimbas pada biaya pendidikan. Dimana banyak lembaga-lembaga pendidikan yang mematok tariff tinggi yang dibebankan kepada semua siswanya. Dari masalah pembangunan sekolah hingga permainan guru dalam bisnis buku mereka. Tak jarang kita mendengar beberapa sekolah sengaja menyiapkan buku pegangan bagi muridnya yang diwajibkan untuk membeli dengan harga yang telah ditentukan. Tentu hal ini mengendorkan semangat mereka untuk bersekolah. Karena tidak semua siswa mampu membeli buku tersebut.
Dan pada akhirnya pendidikan merupakan sesuatu hal yang sulit dijangkau oleh mereka yang berada pada garis kemiskinan. Dengan situasi seperti ini, mereka yang mempunyai mimpi tinggi terpaksa mengubur dalam-dalam mimpi mereka. Dan membiarkan pendidikan dan cita-cita mereka hanyut terbawa waktu.
Peran kita dan pemerintah
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk membantu mereka yang tidak mampu agar tetap memperoleh pendidikan. Dana BOS ( Biaya Operasional Sekolah) dianggap belum mampu menyelesaikan problem pendidikan. Dana BOS telah dicairkan oleh pemerintah. Namun sekali lagi banyak oknum-oknum yang tingkat kepedulian telah terkikis, dengan sengaja menggelapkan dana tersebut. Karena nyatanya dana BOS tidak dapat dinikmati oleh mereka yang pantas mendapatkanya. Dan dana BOS yang telah diterapkan oleh pemerintah tidak mampu memberikan jaminan agar anak-anak Indonesia tetap bersekolah dengan nyaman.
Dan GN-OTA ( Gerakan Nasional Orang Tua Asuh) program pemerintah untuk mereka yang tidak mampu dalam membantu mereka agar tetap bersekolah. Dalam GN-OTA pemerintah mengajak masyarakat langsung untuk turut serta membantu mereka yang tidak mampu bersekolah dengan menjadi orang tua asuh. Namun program pemerintah sejak 29 Mei 1996 lalu, tak lagi terdengar gaungnya. Padahal dalam situasi yang serba sulit seperti ini banyak kaum miskin yang membutuhkan bantuan.
Tugas berat pemerintah saat ini maupun pemerintah selanjutnya terus mengurangi angka kemiskinan. Dan pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Kita dan masyarakat luas wajib membantu pemerintah untuk mengurangi beban tersebut. Tanggung jawab bersama untuk bersatu memajukan bangsa Indonesia kita ini. Karena sejatinya yang harus melakukan perubahan adalah kita semua dan perubahan itu tidak datang sendiri. Dan menyambut pemilu 2009, tentu kita mengharapkan pemimpin-pemimpin negara tak lagi terpecah-pecah dengan beragam keinginan partai (siapapun kelak yang akan terpilih). Melainkan menjadi satu untuk bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan dan pendidikan.
Krisis global yang melanda dunia boleh saja terjadi, tetapi investasi untuk pendidikan tidak boleh lengah apalagi terlambat. Pendidikan merupakan gerbang menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan pendidikan pula, dunia dapat kita genggam. Tanpa pendidikan kesejahteraan semakin sulit di jangkau dan yang ada hanya keterbelakangan.
No comments:
Post a Comment