06 June 2013

Kehilangan



Hampir 3 bulan sejak meninggal Ayah (16 maret 2013) kemarin. Saya tak pernah menuliskan sedikitpun rasa yang sedang saya nikmati saat itu.  Khawatir menggugat Alloh atas takdir yang terjadi dengan narasi yang saya tulis. Karena saat itu kondisi jiwa sedang labil, belum bisa berfikir mana yang patut ditulis dan mana yang harusnya disimpan sendiri.

Hari ini, saya menilai kondisi jiwa saya cukup stabil. Walau ada sedikit kesedihan, tapi saya rasa masi tahap wajar dan manusiawi. Semalam untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya bermimpi tentang ayah saya. sejak ayah masih hidup, sejak kami terpisah oleh ratusan kilo meter jarak, saya sangat berharap bisa memimpikan ayah. Dan bercerita padanya “Ayah, semalam saya bermimpi tentang ayah…” tapi keinginan itu tak pernah kesampaian. Hingga tadi malam saya benar-benar bermimpi tentang ayah. Saya terbangun dan menyadari mimpi saya. kalimat pertama yang muncul dalam pikiran saya saat saya terbangun “ Kenapa aku mimpiin ayah ??” dan langsung mengingat hari. Hari rabu, hari yang sama ketika saya mendapat telpon dari saudara saya bahwa ayah saya sedang kritis. Sudahlah, masalah hari yang sama tak perlu di dramatisir.

Saya kembali merefresh ingatan saya tentang kehilangan ayah. Saya yang bercita-cita ingin sekali dinikahkan oleh ayah agar saya memiliki kenangan indah yang bisa saya simpan. Saya yang pernah berdoa agar Alloh tak mencabut nyawa ayah saya sebelum saya menikah, berdoa agar ayah saya hidup lebih lama lagi agar saya bisa menciptakan kenangan yang saya inginkan dari ayah. Hingga doa saya berubah saat mendengar berita dari telpon bahwa ayah saya kritis dan kemungkinan besar tak bisa lagi bertahan lama. Saya berdoa “ Ya Alloh, izinkan saya mendampingi detik-detik sakaratul maut ayah saya” sepanjang perjalanan menuju rumah ayah. Alloh, mengabulkan doa terakhir saya ini.

Saat kehilangan Ayah, dan benar-benar kehilangan untuk selama-lamanya didunia (Semoga Alloh mempertemukan kami di SyurgaNYA), saya berfikir mungkin rasanya tak sesakit jika keseharian saya didampingi ayah. Ternyata saya salah. Segunung rasa bersalah, selautan rasa penyesalan datang bertubi-tubi. Saya lebih terpukul dari saudara-saudara yang lain. Saya lebih merana dibanding mereka yang sudah mampu mengikhlaskan. Hingga saya berfikir, kematian adalah soal waktu. Saya pun sedang menanti waktu itu.

Sakit yang luar biasa saat saya hanya mampu mendengar cerita-cerita tentang ayah saya. makanan kesukaannya, bagaimana ia menghabiskan waktu, bagaimana ia terbaring berbulan-bulan, dan bagaimana ia mengungkapkan rasa rindunya pada kami tanpa pernah aku mendengar secara langsung. Ya, cinta ayah pada kami baru terungkap ketika aku menemukan fotoku dan adikku didompetnya, menyimpan rapi pakaian kecilku, memasukkan surat pertamaku untuknya didompetnya hingga membentuk lipatan abadi dikertas itu. Dan mendengar cerita bahwa ayah suka sekali membaca suratku berulang-ulang, dan sering menangis setelah menerima telpon dari saya. Dan semua hal itu tak pernah saya sadari ketika ayah masih hidup. Menyesal ? sudah pasti !