07 November 2011

Selalu Ada Jalan

Siang itu saya dan teman saya berjanji akan silaturahim kerumah kader. Kader yang baru saja mengikuti DM. Silaturahim menebar kasih, memperpanjang umur dan mendatangkan rezeki. Agaknya teman-teman lainnya sibuk semua. Alhasil hanya sekelumit orang yang pergi. Itu pun setelah mengalami penundaan hampir 2 jam. Untuk mempercepat silaturahim kami. Datang lah kami menemui seorang teman disebuah kampus, ia berjanji akan datang juga silaturahim bergabung dengan kami. Aku kembali menginjakkan kaki dikampus itu pasca wisuda teman-teman saya. Wisuda yang membuat saya iri, wisuda yang menjadi gerbang awal perpisahan saya dengan teman-teman saya. saya tak terlalu menyukai wisuda itu.

Awalnya ada rasa kikuk dan enggan bergabung. Melihat banyak mahasiswa berkumpul dilobi kampus dalam sebuah acara salah satu organisasinya. Aku sama sekali tak mengenali wajah-wajah itu. Hanya dua orang yang aku tahu. Itupun bukan bagian dari pengurus organisasi itu. Aku memberanikan diri mendatangi mereka. yaah, sekedar menyapa, bersalam-salaman, dan berkenalan. Itu saja harapan saya. kegalauan mulai timbul ketika melihat tak satupun mengacuhkan kedatangan saya. saya hanya berdiri sambil clingak-clinguk. Tiba-tiba datang seorang mahasiswi. Menyalami saya dan mengenali saya sebagai mantan pengurus. Kaget ada yang mengenali, karena mereka generasi beberapa tahun dibawah saya. terlebih saya bukan lagi penghuni kampus itu. mahasiswa itu langsung meluncurkan berbagai pertanyaan. Saya pun tak sungkan menjawab pertanyaan dia. Sambutan yang hangat, bathin saya. ada harapan untuk mengenali anak itu lebih dalam. Namun mendadak diingatkan salah seorang teman saya. sulit sekali mendekati mereka. karena kami (organisasi saya) telah dikategorikan sebagai orang yang wajib diwaspadai dikampus itu. Sedih, seperti ada luka yang dalam mengetahui fakta itu. Ternyata itulah awal kesedihan saya sore itu.

Kini saatnya kami beranjak. Masih menunggu teman diparkiran, terjadi percakapan yang lagi-lagi menjadi guratan sendu saya sore itu. “ aku gak mau lagi disiyasi, aku mau fokus di ilmiah” katanya. Ucapan teman saya itu secara tidak langsung merupakan pernyataan ingin mundur dari organisasi yang menempatkan dia sebagai pengurus inti. Tak tinggal diam mendengar ucapannya. Ada beberapa perdebatan yang coba dipatahkan oleh teman saya, seorang akhwat untuknya. Saya ? sudah tak berminat berkata-kata lagi. Hanya diam, Ciri khas kegalauan saya.

Sepanjang perjalanan menuju rumah kader baru itu, berbagai perasaan campur aduk. Antara patah hati, pupus harapan, kesedihan dan segelintir semangat yang masih menempel dihati. Tanpa terasa, air mata saya meleleh. Banyak hal yang saya sayangkan. Rasanya kemunduran yang kami terima, pastilah ada campur tangan saya. ada dosa-dosa yang mengakibatkan saya (secara pribadi) harus mengalami rasa sakit ini. Hal-hal yang tanpa terasa saya lakukan yang ternyata menyumbang robohnya organisasi ini. Kini kami benar-benar diambang kehancuran. Saya tak tahu, apakah ini telat saya lakukan. Atau memang ini saatnya bangun dan kembali berkibar.

Sesampai dirumah kader, kali ini bukan kesedihan yang saya terima. Tapi tamparan keras sebuah peringatan. Merobohkan segala rong-rongan saya kepada beberapa oknum. kali ini yang berperan adik tingkat saya. Semester lima yang pembawaannya riang. “ Gak perlu mengangkat diri, tebar pesona kesana-kemari. Klo Allah mengangat kita, seketika juga kita akan mulia dihadapan makhlukNya. Yang jadi masalah saat ini, tak ada lagi orang ‘kita’ yang dapat dijadikan pedoman/figure yang jadi panutan. Saya pernah mencoba sholat subuh dikampus. Tapi nyatanya tak ada kader ‘kita’ yang sholat subuh berjamaah dikampus padahal ia ada dikampus” kata-katanya halus namun tegas. Seketika saya pun nyadar diri. saya jelas tak masuk kategori yang mampu menjadi panutan. Ketegasannya itu menyiratkan, Jauhnya kader ‘kita’ dengan Sang Pemilik Pesona.

Sore itu saya kembali menebar asa. Bukan pada mereka yang berada di organisasi ini hampir tiga tahun. Bukan pula pada mereka yang punya sejarah organisasi panjang. Namun pada anak itu, anak riang yang selalu membawa al-qur’an ditasnya dalam setiap langkahnya. Semangat saya kembali tersemai sore itu seiring terngiang-ngiangnya kalimat dia. Subhanallah, Selalu ada jalan yang ditunjukkanNya.

1 comment:

Soe said...

hmm..jadi terharu dan ingin tau lebih jauh cerita panjang perjalanannya.
Maaf, tidak bisa terlibat dalam perjalanannya, seperti yang sudah saya kabarkan sebelumnya kalau bertepatan dengan amanah kepanitiaan.