18 November 2011
Telur Penyu
Seminggu yang lalu saat saya bimbingan skripsi ke Tanjung Pinang, saya ditawari TELUR PENYU oleh teman saya. Awalnya agak aneh, apa lagi setelah mendengar deskripsi tentang telur penyu itu sendiri. Alhasil saya benar-benar penasaran dengan telurnya. Untuk percobaan awal saya beli 3 butir. Niat membeli sempat urung. Karena saya tau, Penyu adalah hewan yang dilindungi. Populasinya kian hari kian menurut akibat perburuan liar. Salah satu penyebabnya karena telurnya dikonsumsi secara brutal oleh manusia. Hingga para penyu tak lagi dapat berkembang biak. Tapi rasa penasaran saya jauh lebih besar dibanding pelestarian populasi penyu. Kali ini saja ! janji saya dalam hati.
Sesampai dirumah, saya tak tahan rasanya ingin segera merasakan telur penyu itu. Apa lagi teman saya mengatakan, bahwa ia sanggup menghabiskan 100 butir telur hanya untuk dia sendiri karena sangat amat menyukai telur ini. Lidah saya makin tak sabar. Setelah direbus dengan air garam, sesuai dengan anjuran teman saya. telur tetap lembek dan putihnya tetap berlendir. Walau kuningnya sudah agak mengeras. Padahal merebusnya sudah sangaaatt lama. Mungkin tipe telur yang lembut, telur penyu ini. Sangat hati-hati saya mengupasnya. Ternyata tak bisa dikupas. Harus disobek bagian cangkang telurnya yang lunak itu. Saat masuk kedalam mulut saya, perut mulai bergejolak. Mual memenuhi kerongkongan dan perut saya. Amis luar biasa, Rasanya aneh tak dapat digambarkan. Saya hanya mencicipi seujung sendok kecil. Saya benar-benar tak mampu menelannya. Cukup ! ini yang pertama dan terakhir untuk saya mencicipi telur ini. Selain menjaga Pupulasinya, lidah saya tak tak sanggup menelannya.
Akhir kalimat, TELUR PENYU tidak untuk dikonsumsi !
Setidaknya, menurut saya. :D
14 November 2011
Refresh
Layak refresh pada sebuah laptop/kamputer, yang berfungsi mengatur tampilan atau memuat kembali tampilan yang ada di desktop agar tidak semrawut. Begitu pun Mabit malam itu bagi saya. Hanya sebuah peningkatan performa tampilan luar saja. Namun tak mempengaruhi kondisi real 'jiwa' yang malam itu ikut mabit. Tapi beruntunglah, masih ada niatan untuk mengikuti mabit itu. walau hampir seluruhnya adalah pengurus.
tak apa, walau hanya merefresh tampilan saja. ini membuktikan bahwa organisasi ini melakukan perbaikan. tak ada yang mampu merubah kondisi 'jiwa' tanpa ada usaha diri sendiri dan kehendakNya.
memang itu mutlak urusan pribadi dan DIA.
cukuplah ini membuktikan, adanya upaya perbaikan yang sedang gencar dilaksanakan. hasil ?
tak melulukan harus mulus kan.
butuh proses.
namun satu hal yang cukup membuat saya bangga hati, tentang ukhuwah yang sempat disinggung malam itu.
keesokan harinya saya melihat teman-teman ikut mengantar salah seorang sahabat dibandara.
walaupun tindakan itu kecil.
namun cukup membekas dihati saya pagi itu.
lumayan,
pelan-pelan mulai melangkah bergerak kedepan.
setidaknya tidak jalan ditempat lagi :)
tak apa, walau hanya merefresh tampilan saja. ini membuktikan bahwa organisasi ini melakukan perbaikan. tak ada yang mampu merubah kondisi 'jiwa' tanpa ada usaha diri sendiri dan kehendakNya.
memang itu mutlak urusan pribadi dan DIA.
cukuplah ini membuktikan, adanya upaya perbaikan yang sedang gencar dilaksanakan. hasil ?
tak melulukan harus mulus kan.
butuh proses.
namun satu hal yang cukup membuat saya bangga hati, tentang ukhuwah yang sempat disinggung malam itu.
keesokan harinya saya melihat teman-teman ikut mengantar salah seorang sahabat dibandara.
walaupun tindakan itu kecil.
namun cukup membekas dihati saya pagi itu.
lumayan,
pelan-pelan mulai melangkah bergerak kedepan.
setidaknya tidak jalan ditempat lagi :)
11 November 2011
Proses
Tepat 10 november ini saya menginjak tahun ketiga dalam berhijab. Dinamika pasang surut iman kerap menghampiri. Kadang saya ingin menjalankan semua perintahNya dengan baik. Tapi lebih seringnya saya lalai mengingatNya. Ditambah lagi sedikitnya berkumpul dengan orang-orang yang saling mengingatkan. Gejolak kampus dengan berbagai ornamen indah “remaja tua” kerap menghampiri. Walau berpakaian akhwat, namun saya merasa tingkah masih sama saja dengan mereka yang tak berhijab. Inilah proses.
Setelah memutuskan untuk berhijab. Bukan langsung saya menjadi alim dan menyamai istri-istri rasul yang saat datang kewajiban hijab langsung menyambar semua kain yang didekatnya untuk menutupi aurat. Bukan pulak seperti Khadijah saat mengetahui suaminya adalah seorang Rasul langsung menyatakan keimanannya dan mempercayai suaminya itu. Bukan keimanan luar biasa seperti itu yang saya miliki saat memahami kewajiban hijab. Lebih tepatnya tarafnya masiiiiiih jauh mencapai seperti mereka. Saya masih sering terlena dengan hasrat “remaja tua” yang saya miliki. Masih sering merindukan berkumpul dengan teman-teman lama saya semasa sekolah. Pernah ingin berpakaian “lebih modis” mengikuti mereka yang tak paham aurat. Dan tentu saja berbagai hal negative pernah bersarang diotak saya. Saya tak memungkirinya, bahwa pemikiran itu datang ketika saya sudah berlabel Akhwat.
Godaan dahsyat kerap menghampiri. Bahkan menurut saya, kadang saya sendiri yang menarik godaan itu agar menghampiri saya yang akhirnya membuat saya terlena dan tak ingin lepas dengan godaan yang saya pasang sendiri itu. Inilah Proses.
Namun saya bersyukur. Saya memilki lingkungan yang siap menyentil saya saat saya bandel. Lingkungan yang mengajarkan banyak hal untuk saya. Walau saya akui tak semua hal yang saya dapatkan dari lingkungan itu menyenangkan. Kesedihan sering juga saya dapatkan. Tapi inilah lingkungan yang saya diami saat ini. Saya yakin, mereka pun masih dalam rangka proses perbaikan diri. bukan pulak manusia-manusia sempurna tanpa cela. Sering saya melihat ‘cela’ mereka yang kemudian membuat saya berpikir. Mereka pun punya hasrat yang sedang mereka upayakan pengendaliannya. Dari mereka saya belajar. Jika saya tersakiti oleh ‘cela’ mereka. lalu mengapa saya masih melakukan ‘cela’ yang sama ? itulah awal mula tekad saya. Cela atau sesuatu buruk nan manusiawi yang mereka miliki itu menyakiti hati saya. Dan sudah seharusnya saya tak melakukan ‘cela’ yang sama. Walau hasrat itu ada. Itulah Proses.
Pelan-pelan saya mulai melakukan PEMAKSAAN terhadap diri saya. Jika selama ini pemaksaan itu menyebalkan. Saya mulai berpikir lain. Pemaksaan itu awal mula PROSES berjalan. Saya memaksakan diri untuk mencintai Al-qur’an dengan menyentuhnya sesering mungkin. Memaksakan diri dengan hapalan yang sangat saya benci hingga membuat saya harus rela di ‘iqob’ berkali-kali. Memaksakan diri untuk terbiasa sepi walau saya rindu bising. Memaksa mengalihkan hasrat hati menuju hal-hal yang diridhoi.
Ini pemaksaan yang sedang saya upayakan menjadi pembiasaan. Walau saya masih jauh ketinggalan. Tapi saya tetap semangat. Inilah proses yang sedang saya jalani. Proses agar 3 tahun perjalanan hijab saya. Bukan hanya menjadi ornament resmi akhwat. Tapi jiwa saya pun telah menjadi sebenar-benarnya akhwat. Aamiin.
Mengutip salah satu paragraph dalam buku ust. Rahmat Abdullah “ tidak serta merta rasa beban berat dalam beramal berubah menjadi kesukaan. Kata kuncinya terletak pada : PEMAKSAAN, PEMBIASAAN DAN (AKHIRNYA MENJADI) IRAMA HIDUP.
Jadi bahagialah terhadap setiap pemaksaan yang di ridhoiNya.
Berbahagialah yang masih diberi kesempatan merasakan proses panjang mengenalNya.
Karena Allah melihat proses, Bukan Hasil.
QS At-Taubah : 105
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Setelah memutuskan untuk berhijab. Bukan langsung saya menjadi alim dan menyamai istri-istri rasul yang saat datang kewajiban hijab langsung menyambar semua kain yang didekatnya untuk menutupi aurat. Bukan pulak seperti Khadijah saat mengetahui suaminya adalah seorang Rasul langsung menyatakan keimanannya dan mempercayai suaminya itu. Bukan keimanan luar biasa seperti itu yang saya miliki saat memahami kewajiban hijab. Lebih tepatnya tarafnya masiiiiiih jauh mencapai seperti mereka. Saya masih sering terlena dengan hasrat “remaja tua” yang saya miliki. Masih sering merindukan berkumpul dengan teman-teman lama saya semasa sekolah. Pernah ingin berpakaian “lebih modis” mengikuti mereka yang tak paham aurat. Dan tentu saja berbagai hal negative pernah bersarang diotak saya. Saya tak memungkirinya, bahwa pemikiran itu datang ketika saya sudah berlabel Akhwat.
Godaan dahsyat kerap menghampiri. Bahkan menurut saya, kadang saya sendiri yang menarik godaan itu agar menghampiri saya yang akhirnya membuat saya terlena dan tak ingin lepas dengan godaan yang saya pasang sendiri itu. Inilah Proses.
Namun saya bersyukur. Saya memilki lingkungan yang siap menyentil saya saat saya bandel. Lingkungan yang mengajarkan banyak hal untuk saya. Walau saya akui tak semua hal yang saya dapatkan dari lingkungan itu menyenangkan. Kesedihan sering juga saya dapatkan. Tapi inilah lingkungan yang saya diami saat ini. Saya yakin, mereka pun masih dalam rangka proses perbaikan diri. bukan pulak manusia-manusia sempurna tanpa cela. Sering saya melihat ‘cela’ mereka yang kemudian membuat saya berpikir. Mereka pun punya hasrat yang sedang mereka upayakan pengendaliannya. Dari mereka saya belajar. Jika saya tersakiti oleh ‘cela’ mereka. lalu mengapa saya masih melakukan ‘cela’ yang sama ? itulah awal mula tekad saya. Cela atau sesuatu buruk nan manusiawi yang mereka miliki itu menyakiti hati saya. Dan sudah seharusnya saya tak melakukan ‘cela’ yang sama. Walau hasrat itu ada. Itulah Proses.
Pelan-pelan saya mulai melakukan PEMAKSAAN terhadap diri saya. Jika selama ini pemaksaan itu menyebalkan. Saya mulai berpikir lain. Pemaksaan itu awal mula PROSES berjalan. Saya memaksakan diri untuk mencintai Al-qur’an dengan menyentuhnya sesering mungkin. Memaksakan diri dengan hapalan yang sangat saya benci hingga membuat saya harus rela di ‘iqob’ berkali-kali. Memaksakan diri untuk terbiasa sepi walau saya rindu bising. Memaksa mengalihkan hasrat hati menuju hal-hal yang diridhoi.
Ini pemaksaan yang sedang saya upayakan menjadi pembiasaan. Walau saya masih jauh ketinggalan. Tapi saya tetap semangat. Inilah proses yang sedang saya jalani. Proses agar 3 tahun perjalanan hijab saya. Bukan hanya menjadi ornament resmi akhwat. Tapi jiwa saya pun telah menjadi sebenar-benarnya akhwat. Aamiin.
Mengutip salah satu paragraph dalam buku ust. Rahmat Abdullah “ tidak serta merta rasa beban berat dalam beramal berubah menjadi kesukaan. Kata kuncinya terletak pada : PEMAKSAAN, PEMBIASAAN DAN (AKHIRNYA MENJADI) IRAMA HIDUP.
Jadi bahagialah terhadap setiap pemaksaan yang di ridhoiNya.
Berbahagialah yang masih diberi kesempatan merasakan proses panjang mengenalNya.
Karena Allah melihat proses, Bukan Hasil.
QS At-Taubah : 105
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
09 November 2011
Selalu Aja
Sudah sebulan saya menjalani masa magang saya. Sebisa mungkin saya berhati-hati dalam setiap tindakan saya. Agar terlihat cerdas wlo hanya pura-pura cerdas. Berhasil nampaknya.
kemaren saya dipanggil bagian keuangan. bukan mau dibagi-bagiin uang. tapi dimintai bantuan mengerjakan pajak. padahal nilai pajak saya amburadul. :D
perubahan ruang, posisi duduk dan kursi membuat saya lupa diri. lupa bahwa kursi yang saya duduki tak seperti kursi diruangan saya biasanya. kursi ini beroda, dan berputar-putar sekehendak hati saya memutar.
saya biasa memainkan kursi dijungkit-jungkitkan (gak tw bahasa tepatnya apa). dengan kursi beroda itu pun saya masih asik menjungkit-jungkitkan. hingga tanpa saya sadari, kursinya tertlungkup kedepan. dan saya jatuh dengan posisi sama sekali tidak etis untuk disebutkan, dan tepat dihadapan saya ada kamera. Malu sudah tak tertahan. sementara, mbak ningsih keheranan saya tenggelam dibalik meja dan bergerak melihat posisi saya terjatuh.
"Are you Oke ?" sapanya
seketika kami sama-sama tertawa.
syukur, badan saya yang mungil ini jatuh tepat ditengah-tengah kursi. hingga tak tertimpa. kalau saya menggambarkan, seperti saat itu saya dipeluk oleh kursi. sedangkan bagian kaki mengarah kemana-mana. sakit sih tidak. tapi malunya tak terhingga.
ada aja yang saya lakukan ditempat baru. mati-matian saya jaga imej. agar terlihat lebih dewasa dan aura kecerdasan saya terpancar. tapi nampaknya imej saya harus cacat karena jatuh dari kursi.
saya tak bisa berhenti ketawa.
tapi mbak ningsih kembali serius bekerja. nampaknya dia menganut azaz kesopanan "jika orang terjatuh tak layak diketawakan"
kemaren saya dipanggil bagian keuangan. bukan mau dibagi-bagiin uang. tapi dimintai bantuan mengerjakan pajak. padahal nilai pajak saya amburadul. :D
perubahan ruang, posisi duduk dan kursi membuat saya lupa diri. lupa bahwa kursi yang saya duduki tak seperti kursi diruangan saya biasanya. kursi ini beroda, dan berputar-putar sekehendak hati saya memutar.
saya biasa memainkan kursi dijungkit-jungkitkan (gak tw bahasa tepatnya apa). dengan kursi beroda itu pun saya masih asik menjungkit-jungkitkan. hingga tanpa saya sadari, kursinya tertlungkup kedepan. dan saya jatuh dengan posisi sama sekali tidak etis untuk disebutkan, dan tepat dihadapan saya ada kamera. Malu sudah tak tertahan. sementara, mbak ningsih keheranan saya tenggelam dibalik meja dan bergerak melihat posisi saya terjatuh.
"Are you Oke ?" sapanya
seketika kami sama-sama tertawa.
syukur, badan saya yang mungil ini jatuh tepat ditengah-tengah kursi. hingga tak tertimpa. kalau saya menggambarkan, seperti saat itu saya dipeluk oleh kursi. sedangkan bagian kaki mengarah kemana-mana. sakit sih tidak. tapi malunya tak terhingga.
ada aja yang saya lakukan ditempat baru. mati-matian saya jaga imej. agar terlihat lebih dewasa dan aura kecerdasan saya terpancar. tapi nampaknya imej saya harus cacat karena jatuh dari kursi.
saya tak bisa berhenti ketawa.
tapi mbak ningsih kembali serius bekerja. nampaknya dia menganut azaz kesopanan "jika orang terjatuh tak layak diketawakan"
07 November 2011
Selalu Ada Jalan
Siang itu saya dan teman saya berjanji akan silaturahim kerumah kader. Kader yang baru saja mengikuti DM. Silaturahim menebar kasih, memperpanjang umur dan mendatangkan rezeki. Agaknya teman-teman lainnya sibuk semua. Alhasil hanya sekelumit orang yang pergi. Itu pun setelah mengalami penundaan hampir 2 jam. Untuk mempercepat silaturahim kami. Datang lah kami menemui seorang teman disebuah kampus, ia berjanji akan datang juga silaturahim bergabung dengan kami. Aku kembali menginjakkan kaki dikampus itu pasca wisuda teman-teman saya. Wisuda yang membuat saya iri, wisuda yang menjadi gerbang awal perpisahan saya dengan teman-teman saya. saya tak terlalu menyukai wisuda itu.
Awalnya ada rasa kikuk dan enggan bergabung. Melihat banyak mahasiswa berkumpul dilobi kampus dalam sebuah acara salah satu organisasinya. Aku sama sekali tak mengenali wajah-wajah itu. Hanya dua orang yang aku tahu. Itupun bukan bagian dari pengurus organisasi itu. Aku memberanikan diri mendatangi mereka. yaah, sekedar menyapa, bersalam-salaman, dan berkenalan. Itu saja harapan saya. kegalauan mulai timbul ketika melihat tak satupun mengacuhkan kedatangan saya. saya hanya berdiri sambil clingak-clinguk. Tiba-tiba datang seorang mahasiswi. Menyalami saya dan mengenali saya sebagai mantan pengurus. Kaget ada yang mengenali, karena mereka generasi beberapa tahun dibawah saya. terlebih saya bukan lagi penghuni kampus itu. mahasiswa itu langsung meluncurkan berbagai pertanyaan. Saya pun tak sungkan menjawab pertanyaan dia. Sambutan yang hangat, bathin saya. ada harapan untuk mengenali anak itu lebih dalam. Namun mendadak diingatkan salah seorang teman saya. sulit sekali mendekati mereka. karena kami (organisasi saya) telah dikategorikan sebagai orang yang wajib diwaspadai dikampus itu. Sedih, seperti ada luka yang dalam mengetahui fakta itu. Ternyata itulah awal kesedihan saya sore itu.
Kini saatnya kami beranjak. Masih menunggu teman diparkiran, terjadi percakapan yang lagi-lagi menjadi guratan sendu saya sore itu. “ aku gak mau lagi disiyasi, aku mau fokus di ilmiah” katanya. Ucapan teman saya itu secara tidak langsung merupakan pernyataan ingin mundur dari organisasi yang menempatkan dia sebagai pengurus inti. Tak tinggal diam mendengar ucapannya. Ada beberapa perdebatan yang coba dipatahkan oleh teman saya, seorang akhwat untuknya. Saya ? sudah tak berminat berkata-kata lagi. Hanya diam, Ciri khas kegalauan saya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah kader baru itu, berbagai perasaan campur aduk. Antara patah hati, pupus harapan, kesedihan dan segelintir semangat yang masih menempel dihati. Tanpa terasa, air mata saya meleleh. Banyak hal yang saya sayangkan. Rasanya kemunduran yang kami terima, pastilah ada campur tangan saya. ada dosa-dosa yang mengakibatkan saya (secara pribadi) harus mengalami rasa sakit ini. Hal-hal yang tanpa terasa saya lakukan yang ternyata menyumbang robohnya organisasi ini. Kini kami benar-benar diambang kehancuran. Saya tak tahu, apakah ini telat saya lakukan. Atau memang ini saatnya bangun dan kembali berkibar.
Sesampai dirumah kader, kali ini bukan kesedihan yang saya terima. Tapi tamparan keras sebuah peringatan. Merobohkan segala rong-rongan saya kepada beberapa oknum. kali ini yang berperan adik tingkat saya. Semester lima yang pembawaannya riang. “ Gak perlu mengangkat diri, tebar pesona kesana-kemari. Klo Allah mengangat kita, seketika juga kita akan mulia dihadapan makhlukNya. Yang jadi masalah saat ini, tak ada lagi orang ‘kita’ yang dapat dijadikan pedoman/figure yang jadi panutan. Saya pernah mencoba sholat subuh dikampus. Tapi nyatanya tak ada kader ‘kita’ yang sholat subuh berjamaah dikampus padahal ia ada dikampus” kata-katanya halus namun tegas. Seketika saya pun nyadar diri. saya jelas tak masuk kategori yang mampu menjadi panutan. Ketegasannya itu menyiratkan, Jauhnya kader ‘kita’ dengan Sang Pemilik Pesona.
Sore itu saya kembali menebar asa. Bukan pada mereka yang berada di organisasi ini hampir tiga tahun. Bukan pula pada mereka yang punya sejarah organisasi panjang. Namun pada anak itu, anak riang yang selalu membawa al-qur’an ditasnya dalam setiap langkahnya. Semangat saya kembali tersemai sore itu seiring terngiang-ngiangnya kalimat dia. Subhanallah, Selalu ada jalan yang ditunjukkanNya.
Awalnya ada rasa kikuk dan enggan bergabung. Melihat banyak mahasiswa berkumpul dilobi kampus dalam sebuah acara salah satu organisasinya. Aku sama sekali tak mengenali wajah-wajah itu. Hanya dua orang yang aku tahu. Itupun bukan bagian dari pengurus organisasi itu. Aku memberanikan diri mendatangi mereka. yaah, sekedar menyapa, bersalam-salaman, dan berkenalan. Itu saja harapan saya. kegalauan mulai timbul ketika melihat tak satupun mengacuhkan kedatangan saya. saya hanya berdiri sambil clingak-clinguk. Tiba-tiba datang seorang mahasiswi. Menyalami saya dan mengenali saya sebagai mantan pengurus. Kaget ada yang mengenali, karena mereka generasi beberapa tahun dibawah saya. terlebih saya bukan lagi penghuni kampus itu. mahasiswa itu langsung meluncurkan berbagai pertanyaan. Saya pun tak sungkan menjawab pertanyaan dia. Sambutan yang hangat, bathin saya. ada harapan untuk mengenali anak itu lebih dalam. Namun mendadak diingatkan salah seorang teman saya. sulit sekali mendekati mereka. karena kami (organisasi saya) telah dikategorikan sebagai orang yang wajib diwaspadai dikampus itu. Sedih, seperti ada luka yang dalam mengetahui fakta itu. Ternyata itulah awal kesedihan saya sore itu.
Kini saatnya kami beranjak. Masih menunggu teman diparkiran, terjadi percakapan yang lagi-lagi menjadi guratan sendu saya sore itu. “ aku gak mau lagi disiyasi, aku mau fokus di ilmiah” katanya. Ucapan teman saya itu secara tidak langsung merupakan pernyataan ingin mundur dari organisasi yang menempatkan dia sebagai pengurus inti. Tak tinggal diam mendengar ucapannya. Ada beberapa perdebatan yang coba dipatahkan oleh teman saya, seorang akhwat untuknya. Saya ? sudah tak berminat berkata-kata lagi. Hanya diam, Ciri khas kegalauan saya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah kader baru itu, berbagai perasaan campur aduk. Antara patah hati, pupus harapan, kesedihan dan segelintir semangat yang masih menempel dihati. Tanpa terasa, air mata saya meleleh. Banyak hal yang saya sayangkan. Rasanya kemunduran yang kami terima, pastilah ada campur tangan saya. ada dosa-dosa yang mengakibatkan saya (secara pribadi) harus mengalami rasa sakit ini. Hal-hal yang tanpa terasa saya lakukan yang ternyata menyumbang robohnya organisasi ini. Kini kami benar-benar diambang kehancuran. Saya tak tahu, apakah ini telat saya lakukan. Atau memang ini saatnya bangun dan kembali berkibar.
Sesampai dirumah kader, kali ini bukan kesedihan yang saya terima. Tapi tamparan keras sebuah peringatan. Merobohkan segala rong-rongan saya kepada beberapa oknum. kali ini yang berperan adik tingkat saya. Semester lima yang pembawaannya riang. “ Gak perlu mengangkat diri, tebar pesona kesana-kemari. Klo Allah mengangat kita, seketika juga kita akan mulia dihadapan makhlukNya. Yang jadi masalah saat ini, tak ada lagi orang ‘kita’ yang dapat dijadikan pedoman/figure yang jadi panutan. Saya pernah mencoba sholat subuh dikampus. Tapi nyatanya tak ada kader ‘kita’ yang sholat subuh berjamaah dikampus padahal ia ada dikampus” kata-katanya halus namun tegas. Seketika saya pun nyadar diri. saya jelas tak masuk kategori yang mampu menjadi panutan. Ketegasannya itu menyiratkan, Jauhnya kader ‘kita’ dengan Sang Pemilik Pesona.
Sore itu saya kembali menebar asa. Bukan pada mereka yang berada di organisasi ini hampir tiga tahun. Bukan pula pada mereka yang punya sejarah organisasi panjang. Namun pada anak itu, anak riang yang selalu membawa al-qur’an ditasnya dalam setiap langkahnya. Semangat saya kembali tersemai sore itu seiring terngiang-ngiangnya kalimat dia. Subhanallah, Selalu ada jalan yang ditunjukkanNya.
04 November 2011
Gratis itu emang nyenengin !
Ada banyak buku yang ingin saya miliki. Ngilernya luar biasa. Tapi apa boleh buat. belanja buku belum memungkin untuk dompet saya :(
jadi saya cuma bisa menatap dengan miris salah satu website toko buku online.
malah makin mupeng saya.
iseng-iseng jalan-jalan didunia maya. saya menemukan situs yang menyediakan ebook segala jenis novel TOP ! dan pengarang yang keren pulak. baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
tergoda untuk mendonlot ? Pasti !
saya pun telah mendonlot salah satu novel.
tapi koq mendadak muncul perasaan bersalah. Kapan penulis Indonesia akan mapan jika pembacanya maunya gratisan mulu. Bayangkan berapa ruginya dia jika pembaca yang seharusnya membeli bukunya dan ia mendapatkan fee royalti jadi hilang karena mereka lebih memilih mendonlot ebook gratis. Jelas sangat rugi !
apa lagi di Indonesia kegemaran dalam membaca masih sangat amat tipis. ditambah lagi kecurangan dengan mendonlot ebook novel mereka.
saya pernah bercita-cita jadi penulis. Sejak saya SD saya sudah menulis dongeng versi imajinasi saya yang saya peroleh dari membaca buku cerita rakyat dan majalah putri duyung yang sangat terkenal, Ariel dari Walt Disney. bahkan saking cintanya sama putri duyung itu, saya ingin bernama sama dan memiliki rambut tergerai merah panjang nan berombak seperti putri duyung itu. tapi keinginan itu lenyap saat saya mulai menyukai Nirmala di majalah Bobo. seperti Nirmala lebih anggun dan punya kaki. lebih bisa saya ikuti dari pada putri duyung.
Bobo bertahan hingga sekarang, Putri Ariel pun masih sering saya lihat dimajalah disney. Mereka tetap eksis hingga kini. tentu saja itu berkat pembaca yang tetap setia membeli bukunya. Bukan hanya bermodal donlot.
Saya putuskan, untuk tidak mendonlot dan tetap membeli buku asli novelnya. Walau bagaimanapun, memiliki buku aslinya lebih memberikan kepuasan tersendiri. yang nanti dapat saya wariskan kembali kepada penerus keturunan saya. :D dan itu rasanya lebih melegakan. tidak terkesan curang dan lebih terhormat.
*gaya*
Subscribe to:
Posts (Atom)