Hampir 3 bulan sejak meninggal Ayah (16 maret 2013) kemarin.
Saya tak pernah menuliskan sedikitpun rasa yang sedang saya nikmati saat
itu. Khawatir menggugat Alloh atas
takdir yang terjadi dengan narasi yang saya tulis. Karena saat itu kondisi jiwa
sedang labil, belum bisa berfikir mana yang patut ditulis dan mana yang harusnya
disimpan sendiri.
Hari ini, saya menilai kondisi jiwa saya cukup stabil. Walau
ada sedikit kesedihan, tapi saya rasa masi tahap wajar dan manusiawi. Semalam untuk
pertama kalinya dalam hidup saya, saya bermimpi tentang ayah saya. sejak ayah
masih hidup, sejak kami terpisah oleh ratusan kilo meter jarak, saya sangat
berharap bisa memimpikan ayah. Dan bercerita padanya “Ayah, semalam saya
bermimpi tentang ayah…” tapi keinginan itu tak pernah kesampaian. Hingga tadi
malam saya benar-benar bermimpi tentang ayah. Saya terbangun dan menyadari
mimpi saya. kalimat pertama yang muncul dalam pikiran saya saat saya terbangun “
Kenapa aku mimpiin ayah ??” dan langsung mengingat hari. Hari rabu, hari yang
sama ketika saya mendapat telpon dari saudara saya bahwa ayah saya sedang
kritis. Sudahlah, masalah hari yang sama tak perlu di dramatisir.
Saya kembali merefresh ingatan saya tentang kehilangan ayah.
Saya yang bercita-cita ingin sekali dinikahkan oleh ayah agar saya memiliki
kenangan indah yang bisa saya simpan. Saya yang pernah berdoa agar Alloh tak
mencabut nyawa ayah saya sebelum saya menikah, berdoa agar ayah saya hidup
lebih lama lagi agar saya bisa menciptakan kenangan yang saya inginkan dari
ayah. Hingga doa saya berubah saat mendengar berita dari telpon bahwa ayah saya
kritis dan kemungkinan besar tak bisa lagi bertahan lama. Saya berdoa “ Ya
Alloh, izinkan saya mendampingi detik-detik sakaratul maut ayah saya” sepanjang
perjalanan menuju rumah ayah. Alloh, mengabulkan doa terakhir saya ini.
Saat kehilangan Ayah, dan benar-benar kehilangan untuk
selama-lamanya didunia (Semoga Alloh mempertemukan kami di SyurgaNYA), saya
berfikir mungkin rasanya tak sesakit jika keseharian saya didampingi ayah. Ternyata
saya salah. Segunung rasa bersalah, selautan rasa penyesalan datang
bertubi-tubi. Saya lebih terpukul dari saudara-saudara yang lain. Saya lebih
merana dibanding mereka yang sudah mampu mengikhlaskan. Hingga saya berfikir,
kematian adalah soal waktu. Saya pun sedang menanti waktu itu.
Sakit yang luar biasa saat saya hanya mampu mendengar
cerita-cerita tentang ayah saya. makanan kesukaannya, bagaimana ia menghabiskan
waktu, bagaimana ia terbaring berbulan-bulan, dan bagaimana ia mengungkapkan
rasa rindunya pada kami tanpa pernah aku mendengar secara langsung. Ya, cinta
ayah pada kami baru terungkap ketika aku menemukan fotoku dan adikku
didompetnya, menyimpan rapi pakaian kecilku, memasukkan surat pertamaku
untuknya didompetnya hingga membentuk lipatan abadi dikertas itu. Dan mendengar
cerita bahwa ayah suka sekali membaca suratku berulang-ulang, dan sering
menangis setelah menerima telpon dari saya. Dan semua hal itu tak pernah saya
sadari ketika ayah masih hidup. Menyesal ? sudah pasti !